pasang iklan
pasang iklan

Sutini Menari Di Atas Awan







Sutini Menari Di Atas Awan

Oleh: Naomi Ratna Adiyati
(Pemenang hiburan lomba cerpen kawanku)

Seperti temannya. Seperti Atun, Jamilah, Padiyem, atau siapa pun anak gadis remaja di desa itu, Sutini pun ingin pandai menari. Atun pernah menjadi juara menari di tingkat kecamatan, untuk tari Bondan. Jamilah malah sudah dua kali memenangkan lomba tari untuk tingkat kabupaten, meskipun kalah di tingkat propinsi. Padiyem, yang walaupun belum menjadi juara tingkat manapun, tapi berkat kecantikannya yang alami maka wajahnya bisa nampang di sampul depan sebuah majalah berbahasa daerah.

Sutin kepingin seperti mereka. Tapi rasa-rasanya sulit bahkan mendekati mustahil untuk menjadi kenyataan. Pertama, karena Sutini tidak ikut kursus menari pada guru manapun, baik di sekolah maupun di balai desa. Kedua, karena tari yang diinginkan Sutini sungguh ganjil. Yakni, Sutini ingin menari di atas awan!

"Jadi kamu ingin menari di atas awan?" tanya teman-temannya sambil tertawa. Menertawakan.
"Iya. Lalu apa anehnya? Sutini, meski tidak menampakkan wajah berang, tapi kelihatan sekali ia begitu tersinggung. Apa anehnya memiliki keinginan? Bukankah sah-sah saja setiap orang punya keinginan. Toh tak semua keinginan bisa kesampaian. Bahkan keinginan yang paling sederhana pun bisa tak kesampaian. Kalau begitu kenapa tak memiliki keinginan yang muluk sekalian.
"Jangan marah dulu, Tini. Dulu aku pun pernah punya keinginan yang aneh seperti kamu. Aku pernah ingin punya sayap seperti burung sehingga bisa bercengkerama dengan awan-awan," ujar salah seorang akhirnya.

Sutini cuma diam. Hatinya sedikit terhibur, meskipun Tini tahu temannya cuma ingin menghibur, membuat lega, setidaknya tak ingin membuat luka lebih dalam di hati Sutini.
Tini, gadis kecil berkulit kehitaman. Kurus dengan mata cekung dan rambut kusam kemerahan seperti tak terurus. Meskipun ia memakai baju seragam putih - biru tua, seragam SLTP, tetap bisa dibedakan dengan yang lain. Karena warna rok birunya yang sudah pudar dan baju putihnya telah mendekati warna krem. Maklum seragam itulah satu-satunya yang dimilikinya. Ayahnya yang cuma buruh tani dan ibunya yang cuma membantu di ladang, tak memungkinkan bagi Sutini untuk memiliki seragam lebih dari satu stel.

Barangkali itulah salah satu penyebab kenapa Sutini lebih suka mengkhayal yang bukan-bukan, yang aneh-aneh. Misalnya ia pernah mengkhayal suatu ketika diambil anak angkat oleh pengusaha paling kaya di kota kabupaten. Tak perlu kurang makan, kurang pakaian, naik mobil terus kemana-mana diantar oleh sopir. Pernah pula ia mengkhayal menemukan hartakarun di sebuah gua, berupa emas, berlian, seperti cerita di buku yang pernah dibacanya waktu SD.

Tapi khayalannya yang paling sering ialah menari di atas awan. Dengan menari di atas awan, Sutini bisa melupakan segala hal yang tidak menyenangkan. Bisa melupakan kelaparan di perutnya. Melupakan kepayahan tubuhnya akibat berjalan kaki berkilo-kilo meter, berangkat dan pulang sekolah.

Bertahun-tahun Sutini tetap pada keinginannya. Dan sejauh ini keinginan itu tetap saja menjadi keinginan, tanpa pernah menjadi kenyataan. Maklum, bagaimana mungkin keinginan seaneh itu bisa menjadi kenyataan?. Tapi sutini tak pernah merasa bosan dengan keinginannya. Ah, sejak dulu pun ia tak pernah merasa bosan. Hanya bedanya, sekarang ia tak perlu malu bakal diejek oleh teman-temannya. Sutini bebas saja mengkhayal menari dengan latar seluruh permukaan langit, dari ujung ke ujung. Karena ia memang tak lagi membicarakan hal itu kepada teman-temannya. Sutini makin tenggelam, berasyik-masyuk dengan khayalannya sendiri.

Hingga pada suatu sore. Saat ia tidur terlentang memandang langit sambil mengembalakan empat ekor kambingnya di perbukitan gundul di pinggir desanya, tiba-tiba seorang ibu muda dan cantik menghampirinya.

"Kamu ingin menari di atas awan, Sutini?" tegurnya ramah. Suaranya begitu merdu.
"Ibu tahu nama saya?" Sutini bangkit daan menatap wanita itu.
"Semua orang tahu namau," jawab wanita itu sambil tersenyum.
"Juga semua orang tahu, kamun sangat ingin menari di atas awan." Sutini makin terpana.
"Itu perkara yang sangat gampang, Anakku."
"Bagaimana bisa sangat gampang? Bukankah semua orang, semua temanku, mengatakan keinginanku itu sangat tidak masuk akal. Bahkan ada orang yang tega mengatakan aku telah menjadi gila karena keinginan itu."
"Barangkali orang-orang dan teman-temanmu itu betul mengatakan begitu. Tapi aku bukanlah orang-orang itu."
"Jadi ibu bisa menolongku menari di atas awan?"
"Bukan aku, tapi kamu. Kamu sendiri yang bisa menolongmu menari di atas awan." Sutini tak terjawab. Hatinya makin gundah.

"Cobalah kamu kembali tidur terlentang. Kemudian pejamkan mata beberapa saat, lalu bukalah mata maka kamu sudah bisa terbang dan menari di atas awan," perintah wanita itu.

"Begitu mudahkah?"
"Mudah, jika kamu yakin."
Dan ajaib! Sutini sudah menari di atas awan berselendangkan kain pelangi begitu indahnya.

Begitulah keinginan Sutini akhirnya terkabul. Setiap pulang sekolah, setiap sore, Sutini segera menuju ke perbukitan untuk menari di atas awan, disaksikan oleh kambing-kambingnya. Kadang Sutini menari sendiri. Kadang ibu cantik menemaninya.

Waktu Sutini duduk di bangku kelas tiga SMU ia kembali berdialog dengan Ibu Cantik. Sutini bertanya apakah dirinya layak  bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi seperti teman-temannya.

"Kenapa tidak, Sutini?"
"Soalnya saya miskin, Bu. Jika saja aku tak memperoleh orang tua asuh, rasanya tak mungkin aku bisa duduk di bangku SMU."
Ibu Cantik, lagi-lagi tersenyum.
"Apa cita-citamu sesungguhnya?"
"Tak tahu. Tapi saya senang sekali belajar soal-soal kejiwaan."
"Maksudmu, kamu ingin menjadi psikolog?"
Sutini tak menjawab. Tapi matanya yang bulat itu berbinar-binar.

"Kalau kamu berusaha bersungguh-sunggu, pasti kamu berhasil."
"Benarkah, Ibu Cantik? Apakah aku tidak mengada-ada?"
"Mana yang lebih mengada-ada antara bercita-cita menjadi psikolog dengan menari di atas awan?"

Dalam keremangan senja, di kamarnya, Sutini mendengar dengan seksama nasihat demi nasihat dari Ibu Cantik. Tentang hidup. Tentang perjuangan.n Tentang cinta kasih. Tentang kemanusiaan. Semua ditanyakan. Semua dijawab dengan memuaskan oleh Ibu Cantik.

Hanya satu yang tak dijawab oleh Ibu Cantik. Ialah ketika ditanya soal nama. Dan, kedua soal tempat tinggal. Ibu Cantik cuma tersenyum.

"Kamu sudah menyebutku Ibu Cantik, ya itulah namaku."
"Ibu tinggal dimana?"
"Ibu bisa tinggal dimana saja. Tapi yang jelas tak jauh dari tempatmu tinggal. Buktinya ibu bisa cepat datang jika kamu memanggil ibu."
Sutini tak bertanya lagi. Sutini cukup percaya. Karena kepercayaan itu pulalah yang membuat hubungan dirinya dengan Ibu Cantik terus terjalin hingga kini.

Benar yang dikatan Ibu Cantik. Sutini akhirnya berhasil menjadi mahasiswi Psikolog di Universitas tekemuka di Yogyakarta. Ada seorang dermawan yang tak mau disebut namanya bersedia memberikan beasiswa selama satu tahun pertama.

"Jika kamu pintar, kamu akan mendapat beasiswa dari pemerintah atau lembaga lain pada tahun kedua," tulis dermawan itu pada suratnya yang kesekian.

Sayang sekali sang penolong itu tak bersedia menyebutkan identitasnya, kecuali hanya disebut 'seorang ibu di Jakarta.' Sungguh perkenalan yang tidak adil sebetulnya. Karena si pengirim surat selalu tahu alamat asrama mahasiswi dimana Sutini tinggal, tapi Sutini tak tahu harus kemana jika hendak menulis surat balasan. Paling banter Sutini hanya bisa mengucapkan terima kasih lewat surat pembaca disebuah majalah berita terkemuka yang dulu bersedia memuat keluhannya.

Tapi Sutini yakin bahwa sang dermawan pastilah orang yang baik, dengan tingkat kepedulian yang amat tinggi terhadap sesama. Jika tidak, tak mungkin dalam waktu begitu singkat, begitu keluhannya soal ketiadaan biaya setelah ia lolos UMPTN dimuat di majalah, langsung seminggu berikutnya ia menanggapi, bahkan meminta agar Sutini mau membuka nomor rekening bank.

Apakah sang dermawan itu ialah Ibu Cantik yang pernah dikenalnya? Sayang sekali, sejak menjelang ujian akhir SMU, Sutini tak lagi bisa bertemu dengan Ibu Cantik. Sia-sia ia kembali berlari ke padang gundul di perbukitan pinggir desanya. Karena Ibu Cantik tak lagi bisa ditemui disana. Bersamaan itu pula Sutini tak bisa menari di atas awan. Kekangenannya menari disalurkan dengan rajin menonton para gadis remaja yang giat menari di Taman Budaya, dibawah bimbingan para mahasiswi seni tari.

Malam bulan September. Udara terasa panas. Dan Sutini kegerahan sehabis meringkas isi buku yang dibawanya dari perpustakaan fakultas sore tadi. Jendela kamar dibukanya lebar-lebar. Langit tergelar penuh bintang. Saat Sutini tengadah ke atas tiba-tiba ada sinar memancar. Langit benderang seketika. Dan Sutini melihat asal cahaya itu. Ternyata ada wanita berparas elok melintas di atas kepada Sutini. Kedua sayapnya gemerlapan. Wanita itu tersenyum. Melambai. Kemudian menari begitu gemulai.

Sutini membalas dengan lambaian kedua tangannya. Ingin rasanya ikut terbang ke atas. Tapi tak bisa. Hanya kedua kakinya yang seakan hendak meloncat.

Wanita berbaju putih dengan selendang keperakaan itu semakin bergerak menjauh, menjauh, dan terus menjauh, dan akhirnya raib bersama cahaya benderangnya. Langit kembali seperti semula. Dengan bintang-bintangnya berkedipan.

Sambil kedua tangannya memegang bingkai jendela sebelah-menyebelah Sutini mencoba mengingat-ingat wajah penari yang barusan melintas dan raib dari pandangan matanya. Wajah wanita itu sepertinya pernah dikenalnya juga senyum itu...

0 Response to "Sutini Menari Di Atas Awan"

Post a Comment